TOURNAMENT PENCURI JACKPOT WAJIB4D
CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN MONTOK DIPERKOSA, Hasrat-Bispak04 Semuanya orang didalamnya perlu bertarung serta berkorban supaya tak tersisih, serta tidak semuanya jalan yang dapat dilintasi itu terang-benderang…Izinkan saya ceritakan kejadian hidup saya. Nama saya Darmini, tetapi orang tidak banyak yang mengenali nama asli saya. Bapak serta Simbok panggil saya Denok, itu panggilan biasa buat anak wanita di daerah saya, namun berarti tidak cuman itu. Denok memiliki arti montok alias sintal, serta ternyata makna itu yang lebih dikenang beberapa orang di kehidupan saya di Ibu-kota. Waktu kecil saya dihabiskan di daerah, jauh dari Ibu-kota. Saya anak hanya satu Bapak dan Simbok, satu keluarga petani penggarap yang tidak berpunya. Mulai sejak kecil saya diajari menari oleh Simbok, sebab beliau sendiri waktu muda yaitu seseorang penari, serta kerap ditanggap kalaupun ada acara di daerah. Sayang, kehidupan kami yang damai di daerah berhenti saat satu hari saya serta Simbok temui Bapak menggantung diri. Rupanya Bapak miliki banyak hutang dikarenakan edan judi, serta beliau tak sanggup membayar hutangnya itu. Kami terang bersusah-hati lantaran Bapak telah tak ada, dan juga kebingungan karena sekian hari selesai Bapak disemayamkan, kami ditendang dari rumah sebab rumah kami diambil alih agen judi yang memberikan hutang ke Bapak. Kami tidak mempunyai lokasi tujuan, serta uang simpanan kami gak berapa. Simbok selanjutnya ngotot membawa saya berpindah ke Ibu-kota cari penghidupan.
"Denok, kita nggak dapat apapun kembali di sini, di kota kita dapat mencoba mencari uang, moga-moga di situ mendingan dibanding di sini," kata Simbok.
Saya hanya alumnus SMP, Simbok alumnus SD. Kami sama tidak sadar hidup di Ibu-kota demikian beratnya. Melamar pekerjaan ke sana-kemari, gak diterima karena dirasa pengajaran kurang tinggi. Mencari kerja yang tidak perlu ijazah, lawan begitu banyak. Pada akhirnya seusai cukuplah lama melihat beragam peluang yang ada, Simbok memutus untuk manfaatkan ketrampilan kami.
CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN MONTOK DIPERKOSA
Dengan modal busana dan perabotan yang kami membawa dari daerah, dan radio tape sisa serta kaset-kaset musik tradisionil yang kami membeli dari pasar loak dengan tersisa uang, awalilah kami berdua jadi penari jalanan.
Waktu gadis-gadis seumur saya yang di kota sedang bersiap ujian akhir SMA atau meniti tahun awalan kuliah, dan yang di dusun tunggu dijodohkan oleh orangtuanya, saya memulai jalani kehidupan baru, menjual ketrampilan seni tari bersama Simbok. Awalannya kami berkeliling-keliling Ibu-kota, sekedar cari keramaian di mana kami dapat peroleh sekian lembar rupiah untuk bertahan hidup. Kami biasa mulai pagi-pagi, mendalami jalanan Ibu-kota buat cari beberapa orang yang pengen kami hibur dengan tarian kami. Rupanya tidak enteng cari uang dengan secara semacam ini, paling-paling yang kami temukan cukup hanya buat makan kami berdua, satu atau 2x dalam hari itu. Serta tidak di semuanya tempat kami dapat mendapatkan pirsawan yang mau bayar, kadang kami jadi ditendang atau dihardik. Sehabis lumayan lama, kami berjumpa tempat di mana kami dapat selalu bisa pirsawan dan uang: satu pasar induk yang lumayan besar, dan lingkungan disekelilingnya. Kami juga sewa satu kamar kontrak murah di dekat Pasar. Beberapa orang di Pasar, yang dari golongan menengah ke bawah, haus selingan murah yang dapat membuat mereka ingat daerah semasing. Hadirnya kami dari sana terus disongsong senyuman, tawa, dan helai-lembar uang yang kumal hasil perasan keringat mereka. Kendati pun sering helai-lembar itu diserahkan ke kami oleh kurang santun contohnya dengan diselinapkan ke baju kami. Apa saya serta Simbok betul-betul merayu? Tidak tahu ya. Saya sendiri tak terasa elok. Selaku anak petani yang kerap main di luar mulai sejak kecil, kulit saya jadi rada gelap terbakar matahari. Namun Simbok pula sejak dahulu terus membimbing serta mengingati saya buat menjaga badan meskipun dengan langkah simpel, jadi kendati sawo masak, kulit saya masih mulus serta tak jerawatan apa lagi bopeng-bopeng lho.
TOURNAMENT PENCURI JACKPOT WAJIB4D
Oh iya, barusan kan saya telah narasi makna nama panggilan saya, Denok. Dipikirkan betul pun sich kalaupun di sebut saya montok. Gak tahu mengapa, walau rasanya dari kecil makanan saya bergizi ngepres, kok tetap tubuh saya dapat saja ya. Sebelumnya remaja saja tetek saya udah tumbuh, dan saat ini jadi subur gumebyur hingga saya terus cemas dengan kemben saya tiap-tiap kali menari. Pantat saya pun kuat karena sebab dibuat latihan olah badan dalam tarian. Ada yang ngomong bahenol, saya sich matur nuwun saja bila ada yang menganggapnya demikian. Terherannya, kendati atas bawah besar, tengahnya tak turut besar, perut dan pinggang saya masih singset. Saya kira masih singset masalahnya kelihatannya kelak tubuh saya bakal jadi seperti tubuh Simbok, tengahnya mulai ikut-ikutan lebar. Nach, jika Simbok itu elok. Sampai usia begitu juga beliau terus elok. cerpensex.com Ditambah lagi jika sudah gunakan sanggul dan dandan, wuihh. Seluruhnya orang nengok dan gak tonton apapun kembali. Saya sendiri terus terasa tidak baik lho kalaupun tampil bersama Simbok. Ah, namun sedunia sekedar saya sendiri yang nganggap muka saya buruk. Selainnya Simbok, beberapa orang yang umum menonton kami menari kok semua ngomong saya elok. Saya pikirkan, ini sih pinter-pinternya Simbok merias saya saja. Waktu pertamanya didandani buat ngamen, saya protes, kok ribet benar-benar. Rambut harus disasak, disanggul, disunggar, gunakan tusuk dan kembang. Muka harus dibedaki tebal-tebal, sampai lain warna dengan tubuh. Barangkali tinggal tahi lalat di pipi saya saja yang tidak ketutupan. Alis saya yang udah tebal dibuat makin tebal. Bibir pun diberikan gincu warna merah keren. Saya kala itu ngeluh,
"Kok udah seperti penganten saja, Mbok."
Simbok menjawab, "Yang bernama penari itu gak bisa biasa saja, nduk. Harus kinclong, manglingi. Kita harus membuat suka yang tonton."
Semakin lama saya biasa pun memanfaatkan dandanan semacam itu, justru saya menjadikan guyonan sama Simbok.
Kunjungi Juga : Pencuri Jackpot & Pemburu Hadiah
"Mbok, saya wis setiap hari kejadian penganten, bentar bila nikah betulan perlu kayak apakah diriasnya?" Dandan muka yang tebal jadi sisi seragam kerja saya, seperti sama kemben, kain batik, serta selendang.
Tetapi benar-benar yang bernama nasib itu jalannya gak ada yang ketahui. 2 bulan kami berada di dekat Pasar, bencana ada kembali. Waktu sedang nyebrang jalan, Simbok ketabrak mobil. Cidera kritis. Saya kuatir, beberapa orang di kitaran beramai-ramai ngangkut Simbok ke rumah sakit. Namun Simbok gak terselamatkan. Simbok mati di rumah sakit selesai 2 hari dua malam usaha ditolong dokter dari sana. Sesungguhnya sejak mulai ketabrak pula Simbok sudah tak ada angan-angan, namun tidak tahu mengapa beliau lama sekali wafatnya. Sekaratnya sampai sepanjang hari. Hingga sampai tidak sampai hati saya menyaksikannya. Kala itu ada yang bisik-bisik, barangkali Simbok pasang susuk, karena itu wafatnya sulit. Orang kok sampai hati ya bicara sesuai itu. Namun apa itu betul atau gak, saya tak ingin tahu, biarkanlah itu menjadi rahasia Simbok. Saya pada akhirnya sendirian di Ibu-kota, seperginya Simbok. Ditambahkan lagi, uang habis untuk mbayar rumah sakit dan penguburan, justru harus berutang kemanapun. Saya tidak dapat melaksanakan acara beberapa macam buat Simbok, cuma dapat doakan sendiri mudah-mudahan roh Simbok dapat tenang di alam sana dan bertemu kembali dengan Bapak. Satu minggu lebih saya di kontrak saja sebab begitu bersusah-hati. Barangkali tiap hari saya menangis, bersusah-hati ingat Simbok, kesepian. Selanjutnya saya memaksakan diri buat keluar kembali, ngamen kembali, karena uang telah habis serta saya pun harus lawan banyak tukang tagih hutang yang tak ingin tahu persoalan saya . Maka, satu minggu sehabis Simbok dikebumikan, saya kembali persiapan untuk keluar, menari. Dihadapan cermin saya tata rambut saya sendiri, saya pasang sanggul dan kembang, saya bedaki muka saya supaya gak nampak beberapa bekas menangis, saya gunakan kembali kemben dan kain, saya sampirkan selendang di leher.
CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN MONTOK DIPERKOSA
Ealah, sesuai keluar kamar saya justru berjumpa dengan ibu yang mempunyai sewaan. Sang ibu gak gunakan basa-basi langsung tagih tunggakan dua bulan. Saya gak punyai uang, jadi saya hanya dapat omong maaf, dan sang ibu malahan ngancam secara lembut. Tidak apapun gak bayar, ucapnya, tetapi esok kamu keluar tempat saya. Haduh biyung, kok tidak habis-habis ya hambatan untuk saya. Saya ingin upaya dahulu, kata saya, kelak akan saya bayar. Hari itu saya pergi ngamen, usaha mencari uang buat hidup.
Naasnya, hari itu pasar lumayan sepi, serta sehabis dua jam saya anyar bisa Rp5000 selepas menari di pangkalan ojek. Saya tidak dapat fokus, kepala sarat dengan ingatan, bagaimana tekniknya biar kelak jika pulang sudah mempunyai cukup uang buat bayar kontrak. Belum beberapa hutang yang lain. Mendekati siang, saya sedang jalan di barisan beberapa toko besar dari sisi Pasar. Serta di muka toko beras terbesar di Pasar, saya menyaksikan Juragan lagi mengalkulasi segepok uang. Beliau barusan terima banyak uang, ternyata ada orang yang habis mborong. Saya saat itu sekedar mengenal beliau sebagai ‘Juragan'. Beliau pemilik toko beras yang besar itu. Beliau udah tua, lebih tua ketimbang Simbok, barangkali umurnya udah 50 atau 60 tahun. Kepalanya nyaris botak, rambutnya tipis beruban, kumis serta jenggotnya jarang. Tubuhnya besar dan perutnya gemuk. Sekali 2x saya dan Simbok pernah menari di muka tokonya, serta pegawai-pegawainya berikan kami uang tetapi beliau tidak. Tetapi beliau pernah pinjamkan uang ke Simbok, dan Simbok sempat mengembalikannya. Saya beranikan diri mendatangi Juragan. Ia sendirian di muka toko, sementara anak buahnya repot di serta berada di belakang. Tokonya lagi sepi, tidak ada konsumen.
"Juragan," pinta saya. "Anu… saya…"
Juragan lihat saya dengan acuh. "Ada apakah, Denok?"
"…saya… saya…" Duh, saya tidak kuat bilangnya. Tetapi saya harus ngomong. "…saya bisa pinjam uang, Juragan? Uang saya telah habis buat cost penguburan Simbok…
TOURNAMENT PENCURI JACKPOT WAJIB4D
saat ini saya perlu bayar sewa dua bulan…"
"Hah?" Juragan memandang saya dengan aneh, "Kamu perlu uang?"
"Tolong, Juragan," saya memohon kembali, "Saya telah ditagih, ini hari harus ada, atau saya ditendang. Saya janji dapat balikkan secepat-cepatnya."
Eh, kok Juragan langsung menyimpan segepok uang tadi ia hitung-hitung.
"Denok," kata beliau dengan dingin, "Saya ini pedagang, bukan tukang memberi hutang. Kamu penting uang? Kerja sana. Atau kamu berjualan saja."
"Saya saat ini kembali kerja, Juragan," saya dongkol namun tak berani menunjukkan; kelihatannya Juragan tak ingin pinjamkan uang. "Cuman seramnya saya tidak dapat dapat uang ini hari untuk bayar sewaan. Jika berjualan, saya tidak mempunyai apapun, harus jual apa?"
Tetapi terus tatapan Juragan kok berganti jadi aneh… Beliau dekati saya dan merengkuh saya. Tangannya yang besar itu menggenggam pundak saya.
"Siapa ngomong kamu gak punyai apapun?" bisiknya. "Tubuh kamu bagus, Denok. Saya pengin kok mbayar buat itu." Beliau tarik badan saya merapat ke tubuhnya, sampai pipi saya melekat dari sisi dadanya yang gendut.
"Ihh?!" saya terkejut dengar bisikan Juragan itu. Duh, inikah yang bernama bisikan iblis? "Tubuh… saya?" Bisikan Juragan terus terngiang di kepala saya. Bergidik bulu-bulu kuduk saya mengayalkan apa tujuannya itu.
"Kalaupun kamu ingin, Denok, saya lunasi bill kontrakanmu yang 2 bulan itu sekaligus mbayar buat bulan depannya," bisik Juragan kembali.
Duh, biyung, saya harus bagaimana? Saya butuh uang, namun apa perlu dengan langkah semacam ini? Namun kalaupun tidak, bagaimana kembali? Yang ada saya akan ditendang, nggelandang, dan…ujung-ujungnya sama pula. Saya gak mempunyai alternatif lain…
"…mau, Juragan…" saya berbisik, lirih sekali hingga gak terdengaran. Kalaupun saja tidak ketutupan bedak, kemungkinan telah nampak muka saya berganti merah seperti cabai.
Juragan tertawa, tubuhnya yang gemuk itu hingga sampai terbuncang-guncang. "Bagus, Denok. Mari turut saya. Kamu ikutin saja kataku, kelak kubayar kamu, ya?"
Lantai atas toko beras itu rumah Juragan.
CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN MONTOK DIPERKOSA
Juragan bawa saya naik tangga dari sisi toko, masuk ke tempat tinggalnya. Juragan rupanya tinggal sendirian. Saya ingin tahu, apa Juragan tidak miliki istri? Kami masuk rumah Juragan. Saya terus menyaksikani lantai, tak berani membawa kepala, namun sesekali saya ngintip ke sana-kemari memandang situasi.
Juragan ternyata tinggal sendirian di atas tokonya. Ada photo tua yang tunjukkan Juragan dengan seseorang wanita—istrinya kah? Juragan merengkuh tangan saya masuk ke satu kamar. Ruang tidurnya. Ia suruh saya duduk di tempat tidur. Saya duduk, sembari tundukkan kepala. Juragan berdiri di muka saya, mengawasi sekujur badan saya. Ia sentuh dagu saya, sembari katakan,
"Denok, angkat kepalamu, saksikan saya." Saya nurut. Barangkali ia tonton mata saya ketakutan 1/2 mati.
"Membuka kembenmu," ujarnya.
Ia simpan selembar uang Rp50.000 dari sisi saya. Saya melihat, menyaksikan uang itu. Besar sekali untuk saya. Kebanyakan sepanjang hari menari saya tak sempat mendapat uang sejumlah itu. Tetapi saya terus ragu-ragu. Juragan mendadak pengin ambil kembali uang itu.
"Kalaupun tidak ingin ya udah," tukasnya dengan suara kurang suka.
Tetapi saya tahan uang itu dengan tangan saya, lalu saya ngangguk. Haduh, Simbok, Bapak, maafkan saya. Saya terlepas ikatan kemben di punggung saya, lalu perlahan-lahan saya urai belitan kain kemben merah yang membebat tubuh saya. Serasi tinggal selembar belitan yang tutup tetek saya, saya jadi malu, serta saya tahan selembar itu dengan lengan saya. Juragan tersenyum memandang saya.
"Wahh…susu kamu besar, ya? Membuat orang hasrat ajah…" saya saksikan Juragan nyengir lebar selesai bicara itu. sumpah, baru ini kali ada lelaki terbuka ngaku sesuai itu.
Helai uang lima puluh ribu barusan diletakkan Juragan di sisi saya ia mengambil, lipat, lalu ia sisipkan ke… aduh! Ia imbuhkan ke belahan dada saya!
"Itu untuk kamu, Denok," tuturnya. Duh, gak yakin rasanya.
TOURNAMENT PENCURI JACKPOT WAJIB4D
Awal kalinya saya serta Simbok perlu menari sepanjang hari, sampai pegal-pegal, buat mendapat uang kurang dari 5 puluh ribu. Tapi… saat ini saya mendapat duit sekitar itu … kok enteng sekali?
"Betulan buat saya…?" Tetap tak yakin, saya bertanya kembali.
"Iya… asal kamu membuka seluruhnya," kata Juragan sekalian menyeringai. "Tubuh kamu bagus, Denok. Montok… bahenol…"
Duh, apa artinya itu? Apa Juragan senang dengan badan saya? Seumur-umur belum sempat ada orang yang katakan itu ke saya… Jantung saya deg-degan dengarnya. Juragan menarik kain kemben masih yang ditahan tangan saya, dan kainnya melaju demikian saja tanpa ada saya tahan. Saya masih tutupi gunung kembar saya dengan ke-2 tangan. Aduh… malu sekali rasanya, telanjang di muka orang lain…Tapi saya dapat beroleh uang…
"Nach, Denok, saat ini membuka kainnya, ya?" saat ini Juragan mohon saya membuka pula kain batik coklat yang saya gunakan.
Karena barangkali barusan saya malu serta pelan satu waktu membuka kemben, Juragan dekati saya dan membuka kain batik saya. Saya seketika mundur, namun tangan Juragan selanjutnya menggenggam bahu saya.
"Tak boleh takut, Denok…" tukasnya.
Juragan pula menggenggam paha saya masih beberapa tertutup kain batik. Ia remas sedikit paha saya. Nada "Eihh" keluar mulut saya, malu sebab sentuhan Juragan. Tangannya lalu nyelip ke bawah kain saya! Kulit tangan Juragan bersinggungan dengan kulit paha saya, dan saya semakin deg-degan. Ia lagi remas-remas paha saya. Saya nggigit bibir, takut keluar nada jenis-jenis dari mulut saya. Tangan satunya terus nyibak kain saya, hingga sampai ke dekat pinggang… Duh, biyung, sedang diapakan saya ini? Kain saya tinggal nyangkut di pinggang saja, sementara ke-2 kaki, betis, dengkul, hingga sampai paha saya telah dikeluarkan dari buntelnya, sedikit kembali kancut saya terlihat!
"Tiduran saja, Denok!" suruh Juragan.
Saya nuruti perintahnya, perlahan-lahan saya rebahkan tubuh atas saya. Ke-2 tangan saya selalu nutupi sepasang tetek saya.
CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN MONTOK DIPERKOSA
Sanggul yang masih belum saya lepas (apa harusnya saya lepas ?) ngganjal belakang kepala saya. Serta sembari saya rebah itu, tangan Juragan berlaga sangkutan paling akhir kain saya di pinggang. Aduhhh biyung. Ke-2 tangan saya untuk pekerjaan: satu membujur di muka dada, satu turun ke bawah nutupi kancut saya.
Saya ragu, tetapi gak tahu mengapa, saya pun kok merasa hasrat saya bangun? Aduh? Kok ini jadi? Juragan terus terusan menyaksikan sekujur badan saya, sekalian memberikan pujian.
"Marilah donk, tidak perlu tertutupin," kata Juragan. "Tanganmu disingkirin donk? Denok, bila kamu ingin kupegang, kutambah dua puluh ribu, ya…
Ke-2 tangan saya digenggam Juragan, lalu perlahan-lahan dimasukkan dari sisi tubuh saya. Duh, bubar dech pertahanan saya. Saat ini susu saya gak ada kembali yang tutupi. Saat ini kancut saya nampak.
"Euh… Juragan… ingin pegang?" kata saya kebingungan. "Ja… jadi saat ini tujuh puluh ribu?"
BERSAMBUNG....